Tag Archives: EkonomiBali

Bali, Destinasi Dunia, Tapi Upah Pekerja Lokal Masih Terbatas

Bali dikenal sebagai destinasi wisata internasional dengan banyaknya resort mewah, restoran berbintang, serta tempat hiburan malam. Namun, di balik kemewahan tersebut, kehidupan para pekerja lokal sangat berbeda.
Upah minimum di Bali masih tergolong rendah dan tidak mampu mengimbangi biaya hidup yang tinggi di kawasan wisata tersebut. Sementara itu, masyarakat Bali memikul tanggung jawab besar untuk mempertahankan tradisi dan budaya yang menjadi daya tarik utama pariwisata di pulau ini.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, mengungkapkan bahwa kesenjangan antara upah minimum dan biaya hidup di Bali menjadi masalah yang serius. Hal ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal serta menghambat pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

Untuk tahun 2025, Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp 2.996.561 per bulan, yang mengalami kenaikan 6,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Raka menjelaskan bahwa biaya hidup di Bali sangat bervariasi, mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 30 juta per bulan, tergantung pada gaya hidup dan lokasi tempat tinggal.

“Untuk pekerja yang hanya mengandalkan UMP, mencukupi kebutuhan dasar saja sudah menjadi tantangan, apalagi di daerah wisata seperti Ubud dan Kuta,” ujar Raka dalam wawancara dengan detikBali pada Jumat (2/5/2025).

Selain masalah upah rendah, sebagian besar pekerja di Bali juga bergantung pada sektor informal dan pariwisata musiman. Hal ini menyebabkan pendapatan mereka tidak tetap dan minim perlindungan jangka panjang.

Raka menambahkan bahwa kebijakan UMP saat ini belum mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Ia mendorong pemerintah untuk menerapkan pendekatan yang lebih komprehensif.

“Perlu ada penyesuaian upah yang berbasis pada kebutuhan hidup yang layak, pelatihan untuk sektor informal, serta kebijakan sosial yang mendukung kesejahteraan masyarakat lokal,” katanya.

Raka juga menyoroti ketimpangan dalam distribusi keuntungan pariwisata. Ia mengungkapkan bahwa banyak keuntungan pariwisata justru dinikmati oleh investor besar, baik dari luar daerah maupun luar negeri, sementara masyarakat lokal hanya menduduki posisi dengan upah standar.

“Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang keadilan sosial. Bali mungkin tampil megah di mata dunia, namun masyarakatnya masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar,” ujarnya.

Selain itu, beban ekonomi masyarakat Bali semakin berat karena kewajiban untuk menjaga tradisi dan melaksanakan upacara adat, yang memerlukan biaya besar. Raka menyatakan bahwa pengeluaran tersebut sering kali tidak diperhitungkan dalam kebijakan ekonomi formal.

“UMP Bali 2025 belum memadai untuk mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya sewa tempat tinggal, serta biaya upacara adat. Ironisnya, meskipun sektor pariwisata menampilkan kemewahan, banyak pekerjanya yang hidup dalam keterbatasan,” tambahnya.