Menjelang tahun pertama kuliah, aku membuat keputusan besar untuk merantau ke Bogor, meninggalkan kampung halamanku di Kalimantan. Keputusan ini bukan perkara mudah, karena aku harus berpisah dari keluarga dan teman-teman yang sudah seperti saudara sendiri.
Namun, ada dorongan dalam diriku untuk mencari pengalaman baru di tempat yang jauh dari rumah. Tahun pertama di perantauan penuh tantangan, mulai dari beradaptasi dengan budaya yang berbeda hingga menghadapi tekanan akademik sebagai mahasiswa.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dan bahkan menikmati kehidupan di Bogor. Tahun 2024 membawa perubahan bagi keluargaku. Biasanya, kami selalu merayakan Lebaran di Pontianak, kota kelahiranku. Namun, karena saudara-saudaraku kini juga menetap di Pulau Jawa, orang tuaku memutuskan untuk merayakan Lebaran di rumah tante di Malang.
Perasaan bercampur aduk—senang karena tetap berkumpul dengan keluarga besar, tapi juga ada rasa rindu dengan suasana kampung halaman. Setibanya di Malang, kehangatan keluarga langsung terasa. Rumah tante menjadi tempat berkumpul keluarga dari pihak ayahku, dipenuhi canda tawa dan aroma masakan khas Lebaran yang membangkitkan kenangan lama.
Di pagi hari Lebaran, kami melaksanakan salat Idulfitri di masjid terdekat. Setelahnya, tradisi sungkeman pun dilakukan, di mana kami saling meminta maaf dan mendoakan satu sama lain. Ini menjadi momen yang paling mengharukan bagiku, terutama saat melihat sepupu-sepupu yang semakin dewasa, menyadarkanku betapa cepat waktu berlalu dan betapa berharganya kebersamaan ini.
Dua hari di Malang terasa singkat, lalu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Selain untuk berwisata, kami juga ingin berziarah ke makam kakek dan nenek di sana. Perjalanan darat dari Malang ke Yogyakarta memakan waktu beberapa jam. Kami tiba sekitar pukul 11 siang dan setelah istirahat sebentar, sepupuku mengajakku berkeliling kota.
Destinasi pertama kami adalah Taman Sari, sebuah bangunan bersejarah yang dulunya menjadi tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Begitu memasuki area ini, aku langsung terkesima dengan arsitektur khas Jawa yang dipadukan dengan pengaruh Portugis. Lorong-lorong bawah tanahnya menyimpan banyak cerita masa lalu, sementara kolam pemandian yang masih terawat membawaku membayangkan kejayaan Kerajaan Mataram.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut ke Air Terjun Tumpak Sewu. Dari pusat kota, kami menempuh perjalanan beberapa jam dengan mobil. Begitu sampai, pemandangan spektakuler menyambut kami—air terjun megah yang sekilas tampak seperti versi kecil dari Niagara. Kami mengabadikan momen dari atas sebelum turun ke dasar air terjun.
Namun, perjalanan ke bawah bukanlah hal yang mudah. Jalurnya cukup ekstrem, dengan medan yang curam dan licin. Beberapa bagian hanya bisa dilewati satu orang dalam sekali waktu. Aku melangkah hati-hati, berpegangan pada tali pengaman agar tetap seimbang.
Saat akhirnya tiba di dasar air terjun, segala kelelahan langsung terbayar. Air yang jernih, gemuruh air terjun yang menghantam bebatuan, dan suasana alami yang menenangkan membuatku merasa begitu kecil di hadapan keindahan alam. Kami menghabiskan waktu dengan bermain air, berfoto, dan menikmati suasana sebelum akhirnya harus kembali naik.
Perjalanan mendaki jauh lebih melelahkan dibandingkan turun. Setiap langkah terasa berat, tetapi semangat untuk sampai di atas membuatku terus maju. Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya kami berhasil mencapai puncak, meski napas tersengal-sengal.
Sebelum pulang, kami menyempatkan diri membilas tubuh dan menikmati semangkuk mie instan hangat. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang sangat berkesan—dari berkumpul dengan keluarga, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, menjelajahi keindahan alam, hingga mempererat hubungan dengan saudara.
Aku bersyukur bisa menciptakan momen-momen berharga ini. Dan yang paling penting, perjalanan ini mengingatkanku bahwa sejauh apa pun aku merantau, keluarga tetaplah tempat pulang yang sesungguhnya.